Persembahan, fua-‘turu’ – fua-tnatas

1 Raja-Raja 8: 62-66
Dalam buku Sit Knino’ yang diterbitkan MS GMIT tahunn 1988, salah satu lagu di sana kata-kata yang tertulis seperti ini, mait au monik koi Usi, fain atnatas neu Ko. Mait au leku tabu sin, fain aliatas neu Ko. Kata-kata ini dalam Bahasa Meto’ Amanuban. Jika digeser ke Bahasa Meto’ Amarasi Kotos akan jadi seperti ini, mait au ‘monik koi Usi’, nfain atnatas neu Ko. mait au oras ma tabu sin, nfanin ariatas neu Ko. Sepintas mirip, tetapi ada substansi yang berbeda; kalimat pertama isinya kehidupan secara pribadi, maka substansinya tunggal, sementara kalimat kedua, substansinya orang pribadi dengan sejumlah waktu yang dimilikinya; maka waktu-waktu itu, jamak. Terlepas dari makna yang terkandung di dalamnya, kita mau belajar tentang persembahan.
Persembahan yang diberikan Salomo berupa korban sembelihan. Di sana Salomo memberikan korban untuk keselamatannya pula. Ada dua model korban sebagai persembahan: Korban sembelihan dan korban keselamatan. Dari makna kata yang terlihat, kita dapat membayangkan bahwa korban yang diberikan itu disembelih (menggunakan pisau). Korban sebagai persembahan itu tentulah ternak atau sejumlah ternak yang disembelih. Prosesnya dilakukan di atas meja persembahan (altar). Semua yang disembelih itu selanjutnya menjadi korban bakaran, korban sajian; sementara yang disiapkan secara khusus sebagai korban keselamatan, termasuk dalam korban sembelihan.
Satu artikel dalam blog https://www.jawaban.com/ mencatat di sana, ada 5 macam korban persembahan: korban bakaran, korban sajian, korban keselamatan, korban penghapus dosa, korban penebus salah.
Bagaimana dengan para leluhur kita Atoin’ Meto’ di zaman sebelum bertemu dengan Injil Yesus Kristus?
Pada masa itu orang menggunakan pendekatan yang mirip bangsa Israel yaitu menyembelih ternak tertentu untuk dijadikan korban kepada usif atau usin. Tidak seluruh anggota tubuh ternak sembelihan itu dijadikan persembahan. Anggota tubuh tertentu saja yang diambil, mula-mula untuk membaca maksud usif atau usin. Jadi organ tertentu dari ternak yang disembelih dipakai sebagai wahana memahami maksud dari kuasa di luar kekuasaan manusia. Selebihnya dari ternak sembelihan itu dibakar untuk dimakan. Darah ternak sembelihan itu ditempatkan di atas batu datar (meja) sebagai persembahan bersama-sama dengan organ tertentu yang dipilih. Sering pula menggunakan bulu ternak (ayam) atau bulu ekor (babi) sebagai penyulut api bakaran pada usif atau usin.
Bagaimana dengan kita yang sudah bertemu dengan Injil Yesus Kristus?
Kita sudah belajar baik di Sekolah Minggu (yang berganti nama menjadi KAKR, berganti nama lagi menjadi PAR), maupun katekisasi sidi, dan pelayanan khotbah-khotbah. Kita mengetahui bahwa satu-satunya korban terbaik yang “disembelih” secara sadis, digantung dengan cara dipakukan hingga ditusuk lambung-Nya. Dia-lah Yesus. Yesus yang menjadi korban sajian sekaligus korban keselamatan. Ia benar-benar menjadi sajian (tontonan buruk) pada segenap alam dan isinya. Bahkan rasanya alam pun malu melihat perlakuan manusia berakhlak pada-Nya, sehingga gelap-gulita pada siang hari terjadi secara tiba-tiba. Ia telah menjadi korban keselamatan sehingga tidak lagi diperlukan korban keselamatan berikutnya dengan menyembelih ternak peliharaan kita.
Saudaraku, Setiap orang baiklah memberikan persembahannya dengan sukacita. Zaman ini kita tidak memberikan korban, kita cukup memberikan persembahan sebagai tanda syukur kepada Tuhan. Sajian, bakaran, sembelihan, sudah selesai; korban keselamatan telah dilunasinya, kita patut bersyukur pada-Nya. Bersyukurlah dengan persembahanmu!
Bila saudaraku membawa persembahan berupa ternak atau hasil ladang/kebun, masyarakat Pah Amarasi menyebutnya fua-‘turu’ dan bila membawa di genggaman erat tangan sambil dikucak-kucak, itu namanya fua-tnatas.
Penulis: Pnt. Heronimus Bani