Sampai di Buku Bambu, Mapaot anbi Kobe

Kejadian 45:12-15
Metafor dalam Bahasa Meto’ Amarasi Kotos, mapaot anbi kobe selalu identik dengan dendam yang akan dibalaskan pada suatu waktu nanti. Dalam Bahasa Melayu Kupang kira-kira, tepa di book, atau tunggu di buku bambu, ntean oo gwe bu’un.
Sebagaimana semua pembaca Alkitab dan Pendengar suara pembaca Alkitab, tentu sudah mengetahui secara baik cerita tentang Yusuf dan saudara-saudaranya. Cerita itu kira-kira dimulai sejak Yusuf mendapatkan perlakuan “istimewa” dari ayahnya hingga akhirnya Yusuf dijual oleh saudara-saudaranya. Sebagai orang perorangan, membaca atau mendengar cerita itu, adakah yang langsung trenyuh atau justru sebaliknya makan gigi karena merasa kecewa, jengkel, atau marah hingga mendendam, kalau itu terjadi pada dirinya. Penganut Kristen, pembaca Alkitab sudah mengetahui perkembangan lanjutan dari cerita Yusuf hingga akhirnya ia dapat bertemu dengan saudara-saudaranya. Drama pertemuan itu begitu mengesankan. Tidakkah Yusuf menyebutkan bahwa sudah saatnya ia tepa kena di book, atau sudah saatnya saudara-saudaranya sampai di buku bambu? Yusuf sedang berada di puncak bukit kesuksesan, yang olehnya itu ia akan dengan mudah mengangkat orang ke posisinya atau justru menggulingkan mereka ke lembah kecelakaan. Inilah yang dimaksudkan dengan metafora mapaot anbi kobe, atau in nhake npao nbi kobe. Dia telah tiba di bukit dengan kegemilangan sekaligus di sana ada lereng yang mudah menggulingkan musuh-musuhnya.
Saudara-saudaranya tiba di sana dengan harapan mendapatkan persediaan makanan dan perbekalan. Kelaparan sedang melanda dunia. Hanya Mesir yang memiliki gudang dan lumbung persediaan makanan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Rupanya pesediaan itu lebih dari cukup untuk melayani pula masyarakat di luar Mesir. Yusuf mengetahui akan hal ini, dan ketika saudara-saudaranya datang untuk membeli persediaan makanan, bila ia mendendam, ia akan dengan mudah membalaskan dendam itu karena ia sedang berada di puncak kesuksesan.
Saudara-saudaranya ketakutan karena mereka pernah melakukan sesuatu yang buruk pada saudara mereka. Orang tua mereka pun tersakiti selama bertahun-tahun karena telah kehilangan anak yang “istimewa”.
Yusuf akhirnya dapat memeluk adiknya Benyamin. Ia dapat pula memeluk dan mencium satu persatu saudara-saudaranya. Rekonsiliasi. Ia tidak menggunakan peluang atau kesempatan untuk memberi pelajaran pada saudara-saudara itu dengan tindakan yang keras. Ia justru memberi diri.
Dalam budaya Atoin’ Meto’, adakah budaya rekonsiliasi? Ada, di sana disebut naketi’. Dalam budaya naketi’ orang duduk bersama, berbicara dari hati ke hati, saling memberi maaf dan pengampunan. Sikap, tindakan, dan tutur yang telah dan pernah terlihat dan terdengar akan terlupakan, terhapuskan selama-lamanya. Membuka diri dan hati untuk “membersihkan dan dibersihkan” terjadi ketika para pihak duduk bersama dalam naketi’.
Yusuf dan saudara-saudaranya telah melewati proses naketi’ itu secara luar biasa. Dendam dibuang, ketakutan dan kecemasan dilemparkan jauh-jauh dari diri mereka. Mereka justru saling menerima, padahal jabatan yang disandang Yusuf amat penting, tinggi dan mulia. Ia rela menempatkan diri secara proporsional agar saudara-saudaranya tidak merasa canggung, kaku, kalut sehingga tidak dapat mendekat kepadanya. Yusuf mengambil peran aktif menjadi pembawa rasa damai pada saudara-saudaranya dan seluruh keluarganya. Maka, sesudah memeluk dan mencium Benyamin dan semua saudaranya, ia berpesan untuk membawa ayah mereka agar dapat bertemu dengannya.
Yusuf tidak sedang pakai kesempatan, aji mumpung. Dapatkah saudara melakukannya pada bulan budaya saat ini bila sedang merasa menjadi bagian yang mendendam?
Penulis: Pnt. Heronimus Bani