Babak Hidup Seorang Naomi

Babak Hidup Seorang Naomi
Rut 1
Kisah inspiratif dari nonot Efrata di Betlehem Tanah Yahuda. Suatu kisah yang menghantar dan memainkan emosi entah hendak trenyuh, menangis, tersenyum, kecewa dan lain-lain. Kisah ini tertulis dalam kitab Rut yang kiranya dapat dipastikan bahwa kaum Nasrani/Kristen mana pun pernah membacanya atau mendengarnya. Ketika membaca kisah ini ingatan akan jatuh pada para tokoh, terutama pada Rut. Ya, Rut, berhubung kitab (buku) yang mengisahkan menggunakan nama tokoh ini. Rut. Padahal, di sana ada tokoh lain yang turut memberi warna trenyum, menangis, tersenyum atau lainnya, yakni; Naomi.
Babak 1, Keluarga Elimelek-Naomi yang utuh
Satu keluarga utuh terdiri dari ayah/suami, ibu/isteri dan anak (atau anak-anak). Ini keluarga utuh yang batih. Mengikuti pola dan pendekatan keluarga di Indonesia yakni Keluarga Berencana, maka jumlah anggota dalam satu keluarga sebanyak 4 orang (ayah/suami, ibu/isteri, dan 2 orang anak).
Dikisahkan bahwa ada satu keluarga di Betlehem dengan Kepala Keluarga bernama Elimelek. Ia mempunyai satu orang isteri bernama Naomi dan 2 orang anak laki-laki, masing-masing bernama: Kilyon dan Mahlon. Jika boleh memasang nama marga (nonot), mereka menggunakan marga/fam Efrata. Lengkap, utuh keluarga ini sebagai satu keluarga kecil bahagia.
Kebahagiaan mereka terasa menjadi runyam dan ribet ketika kelaparan melanda wilayah dimana mereka tinggal. Mereka mengambil keputusan meninggalkan tanah kelahiran, tanah tumpah darah, pangkuan penduduk dan penghuninya. Pilihan dan keputusan yang sulit demi mempertahankan kehidupan bersama sebagai satu keluarga utuh.
Mereka tiba di Moab sebagai orang asing. Keterasingan yang berkeberkatan. Di tengah-tengah keterasingan, Elimelek meninggal dunia. Ratap dan tangis, remuk redam hati. Kebahagiaan yang dipertahankan, kelaparan yang hendak dikuburkan dengan kelimpahan makanan, justru diwarnai kematian. Pada babak ini, Naomi (artinya yang berhati manis) mulai merasakan suatu kepahitan.
Kilyon dan Mahlon yang sudah dewasa mulai menumbuhkan cinta di hati. Pemuda asing mencintai gadis di negeri orang tentulah terasa berbeda, namun tak dapat ditabukan dan ditolak. Cinta kedua pemuda ini tak bertepuk sebelah tangan. Keduanya pun akhirnya membawa masing-masing kekasihnya sampai pada mahligai rumah tangga. Janda Naomi tersenyum. Babak keluarga utuh kembali tanpa Elimelek.
Babak 2, Resahnya Tiga Janda
Naomi telah menjanda. Orang berbahasa Amarasi Kotos menyebutnya sebagai banu ‘honis (janda hidup). Ia tidak memilih untuk melanjutkan kehidupan bersama seseorang suami baru. Ia pun tidak dipilih oleh seseorang lelaki untuk berumah tangga dengannya. Ia telah nyaman dengan dua menantunya. Babak baru dimulainya.
Sungguh sayang, babak baru yang dimulai dengan senyum, canda dan tawa kebahagiaan bersama dua menantu: Orpa dan Rut berlangsung dalam satuan waktu terbatas. Sepuluh tahun berlalu begitu cepatnya, pasangan suami-isteri Kilyon-Orpa, Mahlon-Rut belum sempat memiliki momongan. Kilyon dan Mahlon pun menyusul ayah mereka Elimelek ke alam lain yang dikehendaki Sang Khalik alam, Tuhan.
Tiga janda meratap, terlebih Naomi. Kepahitan pada masa kelaparan, kematian suaminya, dan kini kematian kedua anaknya yang belum memiliki momongan. Ia menjadi makin terpuruk saja, sehingga bila hendak berkisah pun, rasanya ia tak dapat lagi membuka mulut untuk menyatakan rasa dan emosi jiwanya.
Tiga janda dengan berjubel masalah dan entah urgensi manakah yang harus mendapatkan prioritas penanganan? Menafkahi hidup, siapakah yang menjadi kepala keluarga agar maksud ini terjawab? Melindungi dan menjadi sandaran di kala lemah. Kepada siapa dan bagaimana caranya mendapatkan perlindungan dan menyandarkan kepala dan tubuh yang lemah ketika mengalami penurunan daya juang?
Tiga Janda resah. Keresahan bukan saja membungkus tubuh tetapi melumuri perasaan dan emosi. Maka, kegetiran dan kepahitan menjadi nada pengiring langkah perjalanan.
Simpulan
- Kesulitan di kampung halaman sendiri tentulah bukan suatu hal yang menjadikan kita melarikan diri dari sana. Kita boleh saja meninggalkan (keluar) dari kampung halaman sendiri untuk meraih impian ketika di kampung, kota besar, negara lain menjanjikan keistimewaan hingga kebahagiaan. Jaminan rasa aman dan nyaman, terpenuhi segala kebutuhan ketika berada di negeri orang, selalu menjadi pemanis dan magnet yang menarik orang pergi ke sana. Kita tidak menafikan bahwa bila Tuhan menghendakinya, mengapa tidak boleh pergi? Tetapi, bila Tuhan menghendaki untuk tetap berada di dalam kampung sendiri dengan segala resiko pahit-manis di sana, mengapa pula harus meninggalkan kampung?
- Seseorang pergi merantau, ia dapat saja kembali dengan sorak-sorai kegirangan ketika bergelimpangan dengan “kemakmuran” yang diraihnya, tetapi ada di antara para perantau justru tidak kembali karena rasa malu. Bila ada yang berhasil keluar dari rasa malu, ia pulang dengan kebanggaan.
- Kematian. Kematian terjadi pada siapa pun itu. Ia tidak memilih dan memilah untuk mengambil yang satu dan menunda yang lainnya atas alasan tertentu. Bila ia sudah menjemput, berangkatlah nafas itu kembali kepada Sang Khalik pemberi nafas (udara) itu. Kematian di negeri orang, dikuburkan di negeri orang, akan menjadi cerita kenangan. Bila berhasil membawa pulang jenazah atau tulang-belulang semata, hal itu tidak akan mengubah kisah kehidupan dan kematian, kecuali menambah paragraf penceritaan.
- Menikahi gadis/pemuda asing tidak ditabukan. Cinta tidak menasihatkan untuk mencintai hanya sesama etnis atau sesama muda-mudi se-kampung. Cinta yang tumbuh bila hendak diseberangkan melintasi selat dan tanjung, laut dan lautan pun akan diraihnya. Merasa asing di negeri asing yang menerima orang asing tentu saja wajar. Bila sudah menjadi bagian dari komunitas dan penduduk, bukankah hal itu wajar juga? Maka, marilah hidup seperti ikan di laut yang tetap menjaga citra dirinya tanpa mengasinkan diri.
- Menjanda (menduda juga) suatu kewajaran. Mereka yang merasa tidak wajar itu jika menjadi ketika masih muda. Godaan, bujukan dan rayuan akan berada di sekeliling para janda. Memasuki suatu komunitas dan populasi dengan status janda sering sekali mengurangi respek. Sementara bila menduda, sesama lelaki akan menjadikannya sebagai materi perolokan (negatif) atau sebaliknya materi motivasi untuk menikah lagi (positif).
Demikian sekadar ulas yang dapat saya tulis di sini pada bulan Oktober ini. GMIT menetapkan Oktober setiap tahunnya sebagai Bulan Keluarga. Marilah menjadikan keluarga kita masing-masing sebagai keluarga bahagia yang takut akan Tuhan. Manis-pahit, limpah-limbah dinikmati dan dirasakan. Pastikan di sana ada ruang dan peluang walau bersifat celah sempit untuk menemukan solusinya.
Umi Nii Baki-Koro’oto, 18 Oktober 2022
Pnt. Heronimus Bani
Amin bpa..takut Tuhan dan saling mengasihi menjadi dasar hidup keluarga bahagia….percaya bahwa dlm setiap musim hidup, ada kekuatan dan hikmat yg Tuhan kasi, tdk ada yg kebetulan bagi hidup keluarga yg percaya pada Tuhan,sllu meyakini bahwa apapun keadaan hidup keluarga,Tuhan yg pegang kendali dan pasti itu yg terbaik 🙏🏻
Terima kasih sudah berkunjung ke lapak tefneno-korooto. Semoga bisa bersua lagi dalam tulisan berikutnya. Tuhan Yesus memberkati.