Babak Hidup seorang Naomi (2)

Babak Hidup Seorang Naomi (2)
Rut 1: 6 – 22
Pada tulisan sebelumnya, saya menyajikan dua babak kehidupan Naomi: Naomi dan keluarganya yang utuh (batih) pada satu babak, lalu babak berikutnya: Naomi sebagai Janda bersama 2 menantunya yang juga sudah menjanda.
Pada lanjutannya kali ini, tentang ketiga janda itu menatap masa depan. Di sana ada solusi dan delusi. Solusi pada dua janda yang mengimpikan masa depan dalam keyakinan yang amat kuat, sementara delusi dialami oleh satu janda yang berbalik pada impian dan harapan-harapan imajinatif bersama para allah.
Kisah ini berlanjut setelah masa berkabung berakhir mereka tetap menjalani kehidupan sebagai penduduk Moab.
Tuhan Allah, bukanlah Allah yang menutup mata dan telinga-Nya. Ia tidak melepas tangan apalagi membelakangi umat-Nya. Ia memperhatikan umat-Nya. Kelaparan (kesulitan) diatasi-Nya dengan pemberian-pemberian yang “mengenyangkan” umat-Nya di Yahuda.
Kabar baik diterima Naomi. Ia pun berkemas hendak kembali ke negerinya, tanah air tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Tempat dimana ia memadu kisah cinta bersama Elimelek dan kedua anaknya. Tempat dimana ia bercengkrama dengan keluarga, kerabat dan sahabat sesama kaum Yahuda di Betlehem. Ia mengajak kedua menantunya untuk berangkat bersama.
Suatu sikap demokratis ditunjukkan Naomi; pilihan untuk hidup bersama kedua menantunya ia tunjukkan. Ia mengajak mereka hidup seatap sebagai sesama janda. Namun, Naomi pun segera berada dalam suasana sadar hukum adat perkawinan (=budaya menikah). Maka, ia pun memberikan tawaran solutif pada kedua menantunya ini. Hal ini berlangsung ketika mereka berada di perjalanan ke Yahuda.
Suatu sikap yang arif dan bijaksana ditunjukkan oleh Naomi pada kedua menantunya. Naomi sadar akan masa depan dirinya sendiri yang belum tentu indah, seindah harapan dalam imajinasi dan mimpi. Ia pun menawarkan solusi yang diterima secara berbeda pada kedua menantunya.
Babak 3: Naomi dan Orpa dalam Delusi
Orpa yang merasa “terdesak” akhirnya menerima solusi dari ibu mertuanya, Naomi. Ia akhirnya memilih untuk kembali kepada kaumnya di Moab. Orpa pun sadar hukum adat perkawinan (=budaya menikah). Ia telah memiliki pengetahuan hukum adat perkawinan masyarakat pada saat itu yakni akan menikah lagi dengan anak laki-laki dari mertuanya, bila masih ada. Kisah yang demikian dapat dibaca pada Kejadian 38 yang mengisahkah perkawinan secara berurutan pada 2 anak laki-laki Yahuda: Er menikahi Tamar, ketika Er meninggal, Onan menikahi Tamar. Lalu, Onan pun meninggal. Tamar menunggu untuk menikahi anak ketiga dari Yahuda yakni, Syela.
Hal ini kemudian menjadi kisah berlanjut oleh karena sudah membudaya di kalangan masyarakat adat pada masa itu. Naomi pun dipastikan telah mengisahkan hal ini kepada kedua menantunya. Ini tindakan yang saya sebutkan sebagai sadar hukum adat perkawinan (=budaya menikah). Kesadaran yang demikian ini, akhirnya melekat erat pada ingatan, pengetahuan, sikap dan karakter Orpa.
Hal lain yang turut memberi dan mengingatkan sebagai suatu kesadaran yakni sadar keimanan (=agama) yang dimiliki oleh Orpa pada masa-masa hidup bersama sebagai janda, atau bahkan sebelum menjanda. Iman mereka pada Tuhan rasanya “rontok dan lemah” setelah kematian Kilyon dan Mahlon. Orpa turut mengalami hal ini bersama Naomi dan Rut. Alkitab tidak menjelaskan siapa di antara kedua orang muda itu yang meninggal terlebih dahulu antara Kilyon dan Mahlon. Satu kepastian, keduanya meninggal dunia. Dalam hal yang demikian, iman mereka pun terasa bagaikan “rontok dan lemah” dan menjadi pengalaman iman yang membekas pada ingatan dan pengetahuan Orpa.
Pikiran untuk kembali pada suasana masa lampau ketika masih sebagai gadis bersama keluarganya dalam kebudayaan masyarakat Moab masih membekas. Di antara kebudayaan Moab itu yakni budaya beragama: menyembah para allah.
Ingatlah pula cerita ketika Yakob membawa keluarganya “melarikan diri” dari mertuanya sehingga Laban mengejar mereka? Ketika itu, Rahel membawa barang sembahan dari ayahnya (TB: terafim: Kej. 31: 30-37). Kisah itu sangat menarik.
Delusi terjadi pada Orpa. Delusi itu sendiri merupakan suatu “gangguan jiwa” yang tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk; mana sikap dan tindakan yang tidak diizinkan dan atau tidak diizinkan oleh Tuhan. Itulah sebabnya orang selalu berada di persimpangan iman: antara mormon/marmon yang mengantarkan umat menjadi kaya raya dan berasumsi bahwa hidup ini sesungguhnya tidak ada yang perlu dirasakan sebagai kesulitan dan kesusahan. Sementara bila bersama Tuhan yang Hidup di sana ada segala suka-duka.
Orpa mengalami delusi pada babak ini. Ia akhirnya berasumsi bahwa kembali kepada keluarganya, kaum leluhurnya, para allahnya merupakan pilihan terbaik. Ia telah menstabilkan perasaannya, setelah berada dalam suasana delusi itu. Lalu ia memeluk, mencium dan berpamitan pada mertuanya, Naomi, dan pada Rut, sepupu sesama janda.
Orpa telah berada di balik layar. Ia telah bersama leluhurnya. Kisah hidupnya tidak lagi ditampilkan di panggung kehidupan. Ia telah mengalami kehidupan berbeda bersama para allahnya dan budayanya.
Babak 4: Naomi dan Rut dalam Solusi
Bagaimana dengan Rut? Rupanya Rut dan Orpa saling bertolak belakang dalam hal pengetahuan, sikap dan tindakan. Karakter Rut lebih kuat untuk tetap memilih hidup bersama Naomi, mertuanya. Ia telah bertekad untuk meninggalkan tanah kelahirannya, kaum kerabatnya, kebudayaan kaumnya, dan para allahnya. Tekad itu ditunjukkannya dengan pernyataan yang luar biasa berbeda dan mungkin saja tidak pernah diduga sebelumnya oleh Naomi.
Saya kutipkan dalam teks terjemahan berbahasa Amarasi Kotos:
Kais mutoo’, mes kais amreun kau he ‘fain
Ma ho kais mu’seke kau he ‘nao ‘porin ko mmees.
Fin au he u’kii’ ‘ok ko piut.
Ho mnao meu bare mee te, au ‘nao ‘eu naan amsa’.
Ho mutua meu kuan mee msa’ ate, au utua ‘eu naan amsa’.
Ho nggwin of anjarin au nggwin amsa’.
Ma ho Uisneno of anjair au Uisneon gwoa msa’.
Ho mmate mbi bare mee te, au ‘mate ‘bi naan amsa’
Sin nsuub ko mbi bare mee msa’, te sin of ansuub kau msa’ ‘bi ho aom-bian
Maut he UISNENO es anhukun kau,
karu au ‘baits ok u’ko ko.
Fin maest ee msa’ of ka bisa nbatis ma nbetis naan kit fa nua kit.
Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia
Janganlah marah, tetapi janganlah menyuruhku kembali
Dan janganlah engkau memaksa aku untuk meninggalkan engkau sendirian
oleh karena aku akan terus setia kepadamu selalu
Engkau akan kemana pun, aku akan berada di sana bersamamu
Engkau bertempat tinggal di kampung mana pun, aku pun ada di sana
Keluargamu, keluargaku juga
Tuhanmu, Tuhanku juga
Dimana orang menguburkan jenazahmu, mereka pun akan menguburkan jenazahku di samping kuburanmu.
Biarlah kiranya Tuhan Allah menghukum diriku, bila aku berpisah dengan dirimu
karena kematian pun tidak dapat memisahkan kita berdua.
Suatu pernyataan yang amat kuat bila dibaca dari aspek karakter seorang janda. Rut yang menjanda tidak lagi berpikir tentang siapa dirinya. Ia telah menyatu daging, tulang, darah, dan roh (aaz: sisif, nuif, naaf, smanaf).
Dalam budaya menikah masyarakat Timor (dan NTT pada umumnya), budaya sea’nono (kaso~kaos nono) menjadikan seorang perempuan “wajib” meninggalkan rumah orang tuanya. Ia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keluarga suaminya. Ia akan menjadi ibu (Bahasa Meto’: ainaf) di dalam rumahnya sendiri dan keluarganya. Bila ia menikah dengan seorang pemuda yang dituakan (namnasib, amnasit), ia akan menjadi ibu pada satu komunitas (umi, umi mnasi’ dan nonot)
Dalam budaya yang khas dimana para pengantin menerima “barang bawaan” yang disebut antaran, biasanya kaum dan komunitas di NTT membawa barang-barang. Bawaan itu datang dari keluarga pihak pengantin perempuan, ketika menyerahkan mereka tidak menyebutkan tentang akhir kehidupan dari pengantin perempuan ini pada suatu hari kelak.
Berbeda dengan budaya masyarakat adat Amarasi, mereka menyerahkan tiga hal:
- ike-suti
- ‘nahek-aka’nunu’
- panbuat
Ike-suti berhubungan dengan segala barang milik pengantin perempuan semasa ia masih gadis. Hal ini termasuk ketrampilan dan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya. Semua itu akan bermanfaat pada rumah tangga baru ini kelak.
‘Nahek-aka’nunu’, merupakan simbol tempat tidur. Kaum keluarga dari pihak pengantin perempuan membawa satu unit tempat tidur. Maknanya, mereka tidak akan memanggil kembali anak perempuan mereka karena tempat tidurnya telah dipindahkan untuk selamanya. Ia telah menjadi bagian dalam komunitas baru (umi ma nonot) suaminya.
Panbuat, tidak ada yang diserahkan sebagai simbol. Bila akan menyimbokannya, maka keluarga akan menyerahkan satu lembar kain dengan motif panbuat. Maknyanya, kelak anak perempuan yang sudah berkeluarga ini meninggal, urusan jenazahnya diserahkan sepenuhnya kepada keluarga pihak pengantin laki-laki. Keluarga pihak pengantin perempuan tidak akan ikut mencampuri urusan mengurus jenazah, kecuali mendapatkan kabar untuk mengurus secara bersama.
Rut tidak sedang mengimplementasikan budaya menikah masyarakat Pah Amarasi. Ia mempunyai sikap tersendiri setelah belajar dari Naomi, mertuanya. Ia punya keteguhan akan masa depan yang berbeda. Masa depan yang akan diraih bersama Naomi mertuanya, Tuhan dari mertuanya, Keluarga dari mertuanya, dan segala yang dimiliki mertuanya.
Simpulan
Siapakah yang akan memilih sikap Orpa? Siapakah yang akan mengikuti teladan Rut?
- Kita tidak harus menyalahkan Orpa secara buta belaka. Pilihan itu sudah ditunjukkan dan dilaksanakan oleh Orpa. Kita butuh waktu untuk belajar secara lebih mendalam agar tidak mengidap penyakit delusi.
- Kita butuh masa lampau, ya! Masa lampau menyisakan sejarah, tetapi kesan apapun itu, ambillah untuk menjadi titian menuju masa depan, bukan sebaliknya pergi atau kembali ke masa itu, sebab kita tidak dapat memutar jarum jam untuk kembali ke masa itu.
- Kita tidak harus langsung memuji Rut, tetapi kita patut belajar dari Rut. Pernyataannya menarik dan sangat kuat. Ia ucapkan dengan seluruh jiwa dan raganya. Ia bagai sedang bersumpah dengan disaksikan oleh alam, Naomi dan Tuhan sendiri. Ia “mengikat dan menghukum” dirinya sendiri dengan “sumpahnya” itu. Dapatkah kita memilih untuk berkarakter Rut.
- Menjadi sepasang suami-isteri itu bagai telah menjadi satu ikatan darah yang tak dapat dipisahkan lagi. Maka, ketika suami meninggal dan seorang isteri telah berubah status menjadi janda, itu ada pilihan menikah lagi. Hal ini tidak ditabukan, tetapi kesadaran akan ikatan cinta yang kuat diikuti dengan keyakinan akan hidup bersama dalam satu umi, dipastikan tetap ada masa depan yang baik.
Terima kasih telah membaca dua bagian tulisan ini. Kiranya ada manfaatnya dan semoga menginspirasi
Umi Nii Baki-Koro’oto, 19 Oktober 2022
Pnt. Heronimus Bani
Delusi dan solusi Orpa dan Rut bersama Naomi setelah ditinggal suami yg dipisahkan oleh hal kematian,menjadi pelajaran berharga bagi kita di bulan keluarga
Ceritanya sangat menginspirasi,mensuport saya sebagai pemula untuk belajar berliterasi dari apa yang bp Roni bagikan ke saya, Tyb🙏
Terima kasih sudah membaca bagian ini; mari membaca dan menulis. Menulislah selama masih ada jemari yang dapat menari di atas pentas keyboard beralaskan kertas berlatarkan pengetahuan lokal yang akan mengglobal